Dalam sejarah panjang keilmuan Islam, enam kitab hadis utama (Kutub al-Sittah) selalu mendapat tempat istimewa. Di antara keenamnya, Sunan Ibn Mājah memiliki posisi yang unik: menjadi penutup rangkaian karya hadis besar, namun tetap membawa kontribusi penting bagi pengayaan khazanah riwayat Nabi ﷺ. Kitab ini tidak hanya melengkapi koleksi hadis-hadis hukum dan akhlak, tetapi juga memperluas cakrawala pemahaman umat terhadap warisan kenabian yang agung.
Penulis kitab ini adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazīd bin Mājah al-Qazwīnī (w. 273 H), lebih dikenal dengan nama Ibn Mājah. Lahir di kota Qazwin (Iran modern), beliau tumbuh dalam atmosfer keilmuan yang subur dan dikenal sejak muda sebagai penghafal hadis yang cerdas dan berkomitmen tinggi terhadap kebenaran ilmiah.
Julukan “Ibn Mājah” diambil dari nama ayahnya, “Mājah,” yang konon merupakan nama panggilan atau gelar keluarga. Sejak awal, Ibn Mājah telah menekuni perjalanan ilmiah (rihlah fi thalab al-hadith) ke berbagai kota seperti Kufah, Basrah, Baghdad, Mekah, Damaskus, dan Mesir. Ia belajar langsung dari ulama besar seperti ‘Ali bin Muhammad ath-Thalhi, Muhammad bin Rumh, dan Abu Bakr bin Abi Syaibah.
Ibn Mājah hidup sezaman dengan para imam hadis lain seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i. Meski tidak sepopuler nama-nama tersebut, dedikasinya terhadap hadis membuatnya diakui sebagai bagian dari jajaran ulama besar yang menjaga warisan kenabian dengan penuh ketelitian dan cinta ilmu.
Kitab Sunan Ibn Mājah disusun untuk menghimpun hadis-hadis hukum Islam dengan format yang mudah dipelajari oleh para fuqaha, pelajar, dan masyarakat umum. Ia ingin melengkapi karya para pendahulunya seperti Abu Dawud dan Tirmidzi, namun dengan memberikan tambahan hadis-hadis yang belum tercantum dalam kitab mereka.
Motivasi ini menjadikan Sunan Ibn Mājah memiliki nilai penting: sekitar 1.300 hadis dalam kitab ini tidak ditemukan dalam lima kitab hadis lainnya. Tambahan tersebut membuat karya ini menjadi sumber pelengkap yang sangat berharga dalam dunia hadis, meski sebagian di antaranya memiliki kualitas sanad yang beragam.
Dengan demikian, tujuan Ibn Mājah bukan semata-mata menyusun kitab hadis hukum, tetapi juga memperluas jangkauan periwayatan dan memperkaya koleksi hadis yang bisa dijadikan referensi ilmiah bagi umat.
Struktur dan Sistematika Kitab
Sunan Ibn Mājah disusun secara tematik berdasarkan bab-bab fikih, dengan urutan yang rapi dan mudah diikuti. Secara umum, kitab ini mencakup sekitar 37 kitab besar, di antaranya:
-
Kitāb al-Muqaddimah (Pendahuluan tentang ilmu hadis)
-
Kitāb ath-Thahārah (Bersuci)
-
Kitāb ash-Shalāh (Shalat)
-
Kitāb az-Zakāh (Zakat)
-
Kitāb ash-Shiyām (Puasa)
-
Kitāb al-Manāsik (Haji)
-
Kitāb an-Nikāh (Pernikahan)
-
Kitāb ath-Thalāq (Perceraian)
-
Kitāb at-Tijārah (Perdagangan)
-
Kitāb al-Fitan, Kitāb az-Zuhd, hingga Kitāb at-Ta‘bīr (Tafsir mimpi).
Jumlah hadis dalam Sunan Ibn Mājah berkisar 4.341 hadis, dengan kualitas beragam: sebagian sahih, sebagian hasan, dan sebagian lainnya dhaif. Ibn Mājah sendiri tidak menjelaskan secara eksplisit penilaian sanad dalam kitabnya, karena tradisi kritik hadis lebih banyak dilakukan oleh ulama setelahnya.
Namun yang menarik, beliau memulai kitabnya dengan Muqaddimah yang berisi pembahasan tentang keutamaan ilmu, adab dalam meriwayatkan hadis, dan bahaya berdusta atas nama Nabi ﷺ. Ini menunjukkan kedalaman spiritual dan keilmuan Ibn Mājah dalam menempatkan hadis bukan sekadar data sejarah, melainkan amanah moral dan intelektual.
Metodologi dan Ciri Khas
Ibn Mājah dikenal memiliki gaya penulisan yang sederhana, namun sarat makna. Beberapa ciri khas kitab Sunan ini antara lain:
-
Fokus pada Hadis-Hadis Fikih
Sebagaimana kitab Sunan lainnya, karya ini menyoroti hukum-hukum ibadah dan muamalah secara sistematis. -
Penambahan Riwayat yang Tidak Ada di Kitab Lain
Sekitar seperempat hadisnya merupakan tambahan unik yang tidak ditemukan dalam Kutub al-Khamsah lainnya. -
Penyusunan yang Praktis
Penataan bab yang logis memudahkan para pelajar hadis untuk mencari topik tertentu tanpa harus menelusuri kitab-kitab besar lainnya. -
Tidak Banyak Komentar Penulis
Ibn Mājah lebih fokus pada penghimpunan hadis daripada analisisnya. Karena itu, ulama setelahnya banyak menulis syarah untuk menjelaskan konteks hukum dan kualitas sanadnya.
Nilai Ilmiah dan Kedudukan Kitab
Para ulama menempatkan Sunan Ibn Mājah sebagai kitab keenam dalam Kutub al-Sittah, melengkapi lima kitab besar sebelumnya: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasā’ī.
Namun, penempatannya tidak terjadi secara langsung. Awalnya, banyak ulama menilai Sunan ad-Dārimī lebih layak sebagai kitab keenam. Akan tetapi, karena Sunan Ibn Mājah memuat banyak hadis tambahan yang tidak ditemukan dalam kitab lain, maka para ulama hadis generasi berikutnya — seperti Ibn Taimiyah, az-Zahabi, dan Ibn Hajar — sepakat memasukkannya ke dalam kelompok Kutub al-Sittah.
Keunggulan kitab ini bukan pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, melainkan pada kontribusinya dalam memperkaya koleksi riwayat yang menjadi bahan kajian kritik sanad dan pengembangan fikih. Dengan kata lain, Sunan Ibn Mājah berperan melengkapi mozaik besar ilmu hadis yang telah disusun oleh para pendahulunya.
Syarah dan Kajian Akademik
Seiring waktu, banyak ulama menulis penjelasan (syarah) terhadap kitab ini, di antaranya:
-
Sharh Sunan Ibn Mājah karya as-Suyuthi
-
Masābīh az-Zujāj karya al-Busairi
-
Tuhfah al-Ahwadzi (meski fokusnya pada Tirmidzi, banyak mengutip Ibn Mājah)
-
Kajian modern oleh ulama hadis kontemporer seperti Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi yang menyusun tahqiq dan penomoran hadis-hadisnya.
Dalam dunia akademik modern, Sunan Ibn Mājah dipelajari tidak hanya sebagai sumber hukum, tetapi juga sebagai bahan analisis metodologi kritik hadis dan sejarah perkembangan transmisi riwayat Islam.
Sebagian ulama hadis klasik menilai bahwa di antara Kutub al-Sittah, kitab Ibn Mājah memiliki lebih banyak hadis lemah. Imam an-Nawawi dan Ibn Hajar menyebut bahwa sekitar 1.000 hadis di dalamnya tergolong dhaif, dan sebagian kecil bahkan munkar.
Namun, hal ini tidak mengurangi nilai ilmiahnya. Karena dalam disiplin hadis, kehadiran riwayat dhaif bukan berarti palsu, melainkan menjadi ruang penelitian lebih lanjut bagi para muhaddis. Ibn Mājah, dengan jujur, tidak mengklaim bahwa semua hadisnya sahih — justru ini memperlihatkan kejujuran akademik seorang ulama besar yang menulis dengan amanah.
Bagi umat Islam masa kini, Sunan Ibn Mājah adalah pengingat bahwa ilmu hadis bukan sekadar hafalan, tetapi perjalanan panjang antara ketelitian, kerendahan hati, dan komitmen terhadap kebenaran.
Di tengah derasnya informasi agama yang tidak terverifikasi, semangat Ibn Mājah dalam mengumpulkan hadis dengan disiplin ilmiah menjadi inspirasi penting. Ia mengajarkan bahwa menjaga keaslian ajaran Nabi ﷺ adalah tugas ilmiah sekaligus moral.
Kitab ini juga relevan sebagai sumber inspirasi bagi akademisi Muslim modern untuk mengembangkan pendekatan kritis dalam studi keislaman — yakni meneliti, membandingkan, dan menyimpulkan dengan dasar ilmu, bukan asumsi.
Sunan Ibn Mājah adalah karya monumental yang menutup deretan Kutub al-Sittah, tetapi tidak kalah penting dari kitab-kitab lainnya. Ia melengkapi mosaik besar tradisi hadis Islam dengan tambahan riwayat yang memperkaya pemahaman kita terhadap sunnah Nabi ﷺ.
Ketelitian Ibn Mājah, kejujurannya dalam menyajikan hadis beragam kualitas, serta keteguhannya menjaga sanad, menjadikan kitab ini bukan sekadar sumber hukum, tetapi juga warisan intelektual yang abadi.
Melalui Sunan Ibn Mājah, kita belajar bahwa keilmuan sejati bukan hanya tentang kehebatan intelektual, tetapi juga tentang kesetiaan kepada kebenaran dan kejujuran dalam menyampaikan ajaran Rasulullah ﷺ.

