Kitab Sunan al-Nasā’ī: Ahli Hadis yang Teliti

Di antara deretan kitab hadis yang dikenal dalam khazanah Islam klasik, Sunan al-Nasā’ī menempati posisi yang istimewa. Karya besar ini bukan sekadar kumpulan riwayat Nabi ﷺ, tetapi juga representasi dari ketelitian ilmiah seorang ulama yang sangat berhati-hati dalam menyeleksi hadis. Imam al-Nasā’ī dikenal sebagai sosok yang tak mudah menerima riwayat tanpa penelitian mendalam. Karena itu, kitabnya menjadi salah satu yang paling tepercaya dalam jajaran Kutub al-Sittah, enam kitab hadis utama dalam Islam.

Kitab ini tidak hanya menjadi sumber rujukan bagi para ahli hadis, tetapi juga menjadi pegangan penting bagi para fuqaha dan akademisi Islam modern yang ingin memahami hukum Islam berdasarkan fondasi hadis yang kuat dan metodologis.

Profil Singkat Imam al-Nasā’ī: Peneliti yang Cermat

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Syu‘aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Nasā’ī. Lahir pada tahun 214 H di kota Nasa’, wilayah Khurasan (sekarang termasuk kawasan Turkmenistan), Imam al-Nasā’ī tumbuh di lingkungan ilmiah yang subur. Sejak muda, ia menekuni ilmu hadis dan melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai kota besar seperti Kufah, Baghdad, Mesir, Hijaz, hingga Damaskus, demi menimba ilmu dari para ulama besar.

Ia belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka seperti Qutaibah bin Sa‘id, Ishaq bin Rahawaih, dan Suwaid bin Nashr. Bahkan, para imam hadis besar seperti Imam Muslim dan Abu Dawud menjadi sezamannya. Dalam hal ketelitian, para ulama menilai bahwa al-Nasā’ī adalah salah satu yang paling ketat dalam menyeleksi sanad hadis, bahkan melebihi Imam Abu Dawud dan Tirmidzi.

Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lām an-Nubalā’ menyebut al-Nasā’ī sebagai “ahli hadis paling terpercaya setelah al-Bukhari dan Muslim.” Ketegasan dan kehati-hatiannya dalam menilai perawi menjadikannya disegani, meskipun sikap kritisnya terhadap beberapa tokoh politik di masanya akhirnya membuatnya mengalami fitnah hingga wafat pada tahun 303 H di kota Ramla, Palestina.

Kitab Sunan al-Nasā’ī disusun dengan tujuan menghadirkan kumpulan hadis-hadis hukum yang sahih dan dapat dijadikan landasan bagi para fuqaha dalam menetapkan hukum syariah. Berbeda dengan Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim yang fokus pada hadis sahih saja, Sunan al-Nasā’ī memiliki pendekatan fiqh-oriented, yakni menyusun hadis-hadis sesuai dengan tema-tema hukum Islam.

Namun, al-Nasā’ī tetap mempertahankan standar ketelitian yang tinggi. Ia hanya mencantumkan hadis-hadis yang memenuhi syarat sahih atau hasan. Jika pun terdapat hadis dhaif, biasanya hanya disertakan sebagai pendukung dan dijelaskan kelemahannya.

Struktur dan Sistematika Kitab

Sunan al-Nasā’ī disusun berdasarkan bab-bab fikih, mulai dari persoalan ibadah hingga muamalah. Secara umum, kitab ini terbagi ke dalam beberapa tema besar seperti:

  1. Kitab ath-Thaharah (bersuci)

  2. Kitab ash-Shalah (shalat)

  3. Kitab az-Zakah (zakat)

  4. Kitab ash-Shiyam (puasa)

  5. Kitab an-Nikah (perkawinan)

  6. Kitab al-Buyu‘ (jual beli)

  7. Kitab al-Jihad, al-Qadha’, al-Adab, dan tema-tema sosial lainnya.

Penyusunan ini menunjukkan orientasi al-Nasā’ī pada fungsi praktis hadis dalam kehidupan hukum dan sosial umat Islam.

Namun menariknya, al-Nasā’ī memiliki dua versi utama dari karya ini:

  • al-Sunan al-Kubra (Sunan Besar), versi lengkap yang memuat sekitar 12.000 hadis.

  • al-Sunan as-Sughra (al-Mujtaba), versi ringkas dan terpilih dari al-Sunan al-Kubra, berisi sekitar 5.700 hadis.

Versi as-Sughra inilah yang kemudian lebih dikenal luas sebagai Sunan al-Nasā’ī dan dimasukkan ke dalam Kutub al-Sittah.

Metodologi Kritik dan Ketelitian Ilmiah

Salah satu keistimewaan al-Nasā’ī adalah keteguhannya dalam metode tahqiq al-asānid (verifikasi sanad). Ia sangat hati-hati dalam memilih perawi. Bila ada seorang perawi yang dinilai memiliki sedikit saja kelemahan, maka hadisnya jarang sekali diterima kecuali ada penguat yang kuat.

Bahkan dalam banyak kasus, al-Nasā’ī tidak hanya meriwayatkan, tetapi juga memberikan komentar kritis terhadap sanad. Hal ini membuat kitabnya bukan hanya kumpulan hadis, tetapi juga karya ilmiah yang memuat metode kritik yang mendalam.

Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Tahdzib at-Tahdzib menegaskan bahwa al-Nasā’ī termasuk dalam golongan ahli hadis yang paling teliti dalam menilai para perawi, sehingga hadis-hadis dalam kitabnya tergolong paling sahih setelah al-Bukhari dan Muslim.

Keistimewaan dan Nilai Akademik Kitab
  1. Ketelitian Tinggi dalam Seleksi Hadis
    Imam al-Nasā’ī dikenal tidak mudah menerima hadis tanpa bukti kuat. Karena itu, hadis-hadis dalam kitabnya termasuk paling kuat secara sanad.

  2. Keseimbangan antara Ketelitian dan Keteraturan
    Meskipun ketat dalam seleksi, penyusunan kitabnya sangat sistematis dan mudah dipahami, terutama bagi pelajar fikih.

  3. Menjadi Rujukan Mazhab Fikih
    Banyak fuqaha dari berbagai mazhab, Syafi‘i, Hanbali, dan Maliki, menggunakan Sunan al-Nasā’ī sebagai sumber hukum kedua setelah Sahihain.

  4. Komentar Penulis terhadap Perawi
    Al-Nasā’ī tidak hanya meriwayatkan, tetapi juga memberikan penilaian terhadap kredibilitas rawi, menjadikan kitab ini sebagai sumber penting dalam ilmu rijal al-hadith.

Syarah dan Kajian Kontemporer

Banyak ulama kemudian menulis syarah (penjelasan) terhadap Sunan al-Nasā’ī, antara lain:

  • Zahr al-Ruba ‘ala al-Mujtaba karya as-Suyuthi,

  • al-Kawakib ad-Durari karya as-Sindi,

  • Syarh as-Suyuthi ‘ala Sunan an-Nasā’ī,

  • serta beberapa karya kontemporer yang meneliti sanad dan metodologi al-Nasā’ī.

Di era modern, kitab ini menjadi bahan ajar penting di berbagai perguruan tinggi Islam, khususnya dalam bidang ‘Ulum al-Hadits dan Fiqh al-Hadith. Peneliti kontemporer menilai bahwa Sunan al-Nasā’ī mengandung nilai metodologis tinggi dalam memahami relasi antara hadis dan hukum Islam.

Sebagian ulama menilai bahwa karena ketelitian al-Nasā’ī yang sangat tinggi, kitabnya menjadi agak “eksklusif” sulit dipahami tanpa bimbingan guru. Ia tidak banyak menjelaskan konteks matan atau tarjih antar-riwayat. Namun, justru hal inilah yang menjadi bukti kekuatan ilmiahnya: kitab ini dimaksudkan untuk kalangan ahli hadis dan fuqaha yang sudah menguasai dasar-dasar ilmu hadis.

Selain itu, sikap keberanian al-Nasā’ī dalam mengkritik beberapa tokoh yang dianggap lemah dalam periwayatan, membuat sebagian kalangan di zamannya tidak menyukainya. Akan tetapi, dalam pandangan ilmiah, kritiknya selalu berbasis data, bukan sentimen.

Bagi masyarakat Muslim masa kini, Sunan al-Nasā’ī memberikan inspirasi luar biasa tentang pentingnya kejujuran ilmiah. Dalam era di mana informasi agama begitu mudah tersebar tanpa verifikasi, ketelitian al-Nasā’ī menjadi teladan etika akademik yang tinggi.

Kitab ini juga mengajarkan bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari basis ilmiah yang kuat. Setiap fatwa, keputusan, dan amalan harus berakar pada sumber yang sahih. Dengan demikian, Sunan al-Nasā’ī tidak hanya penting secara historis, tetapi juga relevan dalam upaya membangun keilmuan Islam yang rasional dan otentik di masa kini.

Sunan al-Nasā’ī adalah mahakarya seorang ulama besar yang menjadikan ketelitian sebagai nilai tertinggi dalam ilmu. Melalui kitab ini, Imam al-Nasā’ī memperlihatkan bagaimana hadis Nabi ﷺ tidak sekadar dihafal dan disampaikan, tetapi juga dikaji dengan disiplin ilmiah yang mendalam.

Bagi kalangan akademisi, Sunan al-Nasā’ī merupakan sumber berharga untuk menelusuri struktur hukum Islam yang otentik, sekaligus cerminan integritas ilmiah yang layak diteladani. Dalam setiap lembar kitab ini, kita menemukan bukan hanya sabda Nabi ﷺ, tetapi juga semangat keilmuan yang jujur, kritis, dan penuh kehati-hatian, sesuatu yang amat dibutuhkan di dunia akademik dan keislaman hari ini.

Leave a Reply